Susu untuk Mei

Aku terbangun dengan tubuh penuh keringat dan nafas tersengal-sengal. Laki-laki itu datang lagi melalui mimpi. Ia menatapku lama. Seolah-olah ada yang ingin disampaikannya. Laki-laki itu yang pernah kulihat di sebuah mall di dekat rumah kami waktu kerusuhan Mei 1998. Saat itu, sambil menggendong bayi, dengan tergopoh-gopoh aku mencari adik bungsuku ke mall. Aku tidak mau ia ikut menjarah. Karena dalam keadaan panik, di pintu gerbang mall aku menabrak laki-laki itu. Sejenak, matanya menatap bayiku dengan tajam. Dan, selanjutnya, berlari masuk mall. Seusai kerusuhan, kami warga sekitar mall menyadari bahwa banyak penjarah yang terperangkap dan terbakar di dalam mall. Setahuku, tidak ada di antara warga kompleks perumahan kami yang jadi korban. Tapi, batinku mengatakan bahwa laki-laki itu salah satu korban. Mengapa setelah 12 belas tahun ia mendatangiku melalui mimpi? Kedatangannya yang berulang-ulang menginspirasiku membuat sebuah fiksi tentang lelaki itu dan kerusuhan 98. Tentu saja jalan ceritanya sesuai imajinasiku saja.

Sore itu, seperti sore-sore kemarin, Mila berdiri di depan pintu. Ia menunggu kedatangan Mas Dani, Bola matanya memandang jalan di depan rumah. Namun, sosok Mas Dani tak kunjung tampak. Rasa kecewa menghias wajah Mila yang cekung. Tak ada lagi rona ceria di sana. Kulit mukanya kusam dan berjerawat, rambutnya kusut masai seperti jarang disisir. Mila terlalu memikirkan Mas Dani. Jika membayangkan masa-masa indahnya dengan Mas Dani, Mila terlihat tersenyum-senyum sendiri. Saat menyadari Mas Daninya tidak pernah pulang, Mila menangis berjam-jam. Sikapnya pada Mei pun tidak stabil. Adakalanya, ia memandang Mei dengan sikap terenyuh, mendekap Mei dengan penuh kasih. Sementara, Mei dilanda ketakutan berada dalam dekap ibundanya. Namun, kadang-kadang, ia mengusir Mei. Matanya memerah. “Mei…. pergi! Pergi,” ini semua gara-garamu. Pergi Mei!” hardiknya kencang. Untung ada nenek tempat Mei berlindung.

“Mama kenalkan temanku, Mei,” tiba-tiba, putriku menghentikan jemariku yang menari-nari di atas keyboard. Ia memperkenalkan teman sekelasnya. Mereka hendak mengerjakan tugas kelompok di rumah kami. Rupanya, Mei dan putriku sekolah di SMP yang sama, kelas VII. Kusambut salamnya. Tapi, mengapa nama Mei sama dengan nama tokoh ceritaku, ya? Ah, kebetulan saja, aku berusaha menghentikan tanya batinku.

Dulu, sekitar jam tujuh pagi, saat Mei, berumur dua minggu, Mas Dani keluar rumah. Ia hendak membeli susu bayi. Mila mengantarnya sampai di pintu. Sejak saat itu, Mas Dani tidak pernah pulang ke rumah. Mas Dani hilang bagaikan ditelan lautan huru-hara, tak ada kabar beritanya.

Mei lahir tepat pada tanggal 1 Mei 1998. Itu sebabnya mereka menamakannya, Meilani. Nama panggilannya Mei, diambil dari nama bulan kelahirannya, /la/ dari nama Mila dan /ni/ dari nama Dani.

Mila menikmati perannya sebagai ibu baru hanya sekitar dua minggu. Sesudah itu, kebahagiaannya terusik situasi politik. Ekonomi gonjang-ganjing. Nilai tukar rupiah terpuruk. Harga barang-barang meroket. Sembako susah didapat. Rakyat menjerit. Kepala Negara dihujat. Sikap polisi dan tentara terkesan lamban. Rakyat marah. Ketika dua mahasiswa Trisakti tertembak aparat, situasi ibukota bertambah kacau.

Sudah beberapa hari, air susu Mila yang tadinya banyak, menjadi sedikit. Mila bingung. Ia tidak mengerti, mengapa bisa demikian. Mila tidak menyadari kalau otaknya telah terseret memikirkan Negara yang kacau. Ia khawatir terjadi perang. Ia ketakutan. Selera makannya menurun. Tentu saja Mei menangis terus. Air susu, sumber kehidupannya tak lagi mencukupi. Ketika Dani pulang kantor, Mila meminta Dani membeli susu bayi di warung dekat rumah.

“Gawat! Persediaan susu, kosong. Ada sepuluh toko Mas datangi. Semua pemiliknya mengatakan susu bayi habis. Aduh! Mei minum apa?” tanya Dani panik. Malamnya Mei tidak bisa tidur karena ASI-nya kering. Air tajin dan teh manis ditolaknya.

Besoknya, Dani tidak ke kantor. Dani mencari susu untuk Mei. Aneh! Di pasar-pasar besar setok susu bayi juga habis. Ini pasti permainan pedagang. Mumpung, situasi negara sedang gawat, mereka menimbun sembako dan susu, gerutu Dani dalam bati. Dani tidak mungkin pulang dengan tangan kosong. Lama ia berpikir. Aku ke mall saja, putusnya dalam hati.

Mall terdekat dari posisinya sekarang berjarak sekitar satu kilometer. Menjelang sampai di mall, bis yang ditumpangi Dani diberhentikan sekelompok massa. Mereka menyuruh sopir balik lagi. Sopir dan kenek tak berdaya. Mereka terlalu banyak dan kuat untuk dilawan. Dani terpaksa melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki. Namun, sesampai di depan mall yang ditujunya, Dani kaget. Kondisinya lebih gawat lagi. Massa hilir mudik. Mereka mengeluarkan isi mal sesuka hati. Seorang bapak mengangkut sebuah televisi besar. Sesampai di pagar, dekat Dani berdiri, televisi itu jatuh, terbanting ke tanah yang berbatu.

“Yah… jatuh! Rusak dah! Ambil lagi, ah!” kata Bapak itu sambil kembali ke dalam mall. Televisi yang jatuh dibiarkannya begitu saja.

Sebuah mobil loss-back berhenti di dekat Dani. Empat orang lelaki kekar melompat turun. Mereka membawa linggis dan martil. Dengan sigap para lelaki bertato itu bergegas ke samping kanan mall. Jangan-jangan, mereka hendak membobol mesin ATM. Setahu Dani beberapa buah mesin ATM berjejer di sana.

Ya, Allah! Kenapa bisa begini? Satpam dan polisi, bahkan tentara hanya mengamati. Setiap orang bebas mengambil apa saja yang diingininya.

Seseorang wanita melenggang di halaman mall. Kedua tangannya menenteng dua kantong plastik besar berisi susu. Ia berhenti dekat Dani. Mata Dani tidak lepas memandang isi kantong yang dibawa si wanita. Mei juga butuh susu. Di sini ada susu bayi. Tapi bagaimana membelinya? Spontan, timbul niat Dani mengambil susu seperti orang-orang itu, tanpa bayar. Dani bimbang. Jika saya ikuti mereka, berarti saya mencuri. Anak saya minum susu hasil curian.

“Tidaaak!” tanpa sengaja Dani berteriak.

Tiba-tiba seorang ibu muda yang sedang menggendong bayi menabrak Dani. Mata Dani tertancap pada sang bayi. Dani seakan-akan melihat Mei. Dani melirik ibu bayi itu. Demikian juga dengan ibu si bayi. Sejenak mereka saling pandang. Mungkin ibu itu juga mencari susu, batin Dani. Aku harus mendapatkan susu Mei, Dani memutuskan.

Dengan langkah berat tapi pasti Dani masuk ke dalam mall. Sesampai di outlet susu, Dani buru-buru mengambil dua kaleng besar susu bayi. Selanjutnya, dengan tergesa-gesa, ia menuju pintu ke luar. Namun, baru beberapa langkah, lampu mendadak mati. Mall gelap. Berkali-kali Dani menabrak rak-rak tempat dagangan dan saling bertubrukan dengan orang lain.

“Ya, Allah! Pintu mall tertutup. Kita terkurung!” terdengar teriakan.

“Ada api! Ada api! Ada api!” beberapa orang menjerit-jerit.

Dalam keadaan panik, Dani mengedarkan pandangannya mencari sumber api. Benar. Di bagian belakang mall di sebelah kanan, api mulai bergejolak. Entah dari mana asalnya. Yang jelas, api itu begitu cepat merambat. Sesaat, ruang mall lantai bawah menjadi terang benderang. Pintu ke luar terlihat. Dani disergap rasa panas dan susah bernafas. Selanjutnya, penglihatannya menjadi kabur karena ruangan itu dipenuhi asap hitam. Dengan masih memegang erat dua kaleng susu bayi, Dani berlari ke arah pintu. Dani dan yang lainnya, menumpuk di sana. Tanpa dikomando, mereka mendobrak pintu berulang-ulang. Pintu itu begitu kokoh. Sementara, tenaga mereka sudah lemah. Gagal.

“Tuhaaan! Ampuni hamba. Tolong lindungi Mei. Lindungi Mila. Milaaa! Jaga Mei.” Dani berusaha berteriak namun suaranya tak lagi kencang. Kemudian, ia terjatuh. Tubuhnya menimpa tubuh beberapa orang yang lebih duluan ambruk. Mungkin, paru-paru mereka dipenuhi asap. Sebelum nyawanya meregang, dengan suara lemah Dani, masih sempat melafazkan, “Allahuakbar.”

Putriku kembali memutus imajinasiku yang sedang berlari ke sana ke mari dengan liar. “Ma, tugas kelompok kami sudah selesai. Mei mau pamit,” lapornya. Aku menghentikan ketikanku. Mei menyalamiku. Diciumnya punggung tanganku dengan sopan.

“Papanya Mei hilang waktu kerusuhan 98, lo, Ma,” tiba-tiba putriku memberi tahu.

Aku tersentak, kaget. Badanku gemetar, tokoh ceritaku berada di hadapanku. Kupandang lekat wajah Mei, ternyata sangat mirip dengan lelaki itu.

Pengarang

Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Tangerang. Dimuat di Satelit News edisi Sabtu, Minggu, 14-15 Mei 2011.